Sumenep, updatejatim.net – Sejumlah pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, mengeluhkan belum dikembalikannya agunan atau jaminan Kredit Usaha Rakyat (KUR) meski pinjaman mereka berada di bawah Rp100 juta.
Hal ini mencuat pada Senin, 6 Januari 2024 lalu, setelah salah satu debitur berinisial A, warga Dusun Rembang, Desa Pragaan, Kecamatan Pragaan, melalui media mempertanyakan alasan jaminannya belum dikembalikan.
Debitur tersebut menghubungi Rachman Chandra Kurniawan, seorang marketing Bank BNI Cabang Pragaan, untuk meminta penjelasan. Dalam percakapan via WhatsApp, yang akrab disapa Chandra menyebut bahwa agunan tersebut tidak diikat notaris, melainkan sebagai bentuk pinjaman sukarela yang menjadi moral obligation kepada bank.
“Sampean berbicara mau ambil jaminan, emang bisa lunasin pinjamannya?” ujar Chandra dalam tanggapan tersebut.
Pernyataan ini menimbulkan polemik karena dianggap tidak sesuai dengan aturan yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko) Nomor 6 Tahun 2020 yang telah diubah melalui Permenko Nomor 3 Tahun 2021, Permenko Nomor 1 Tahun 2022, dan Permenko Nomor 2 Tahun 2023, pinjaman KUR dengan nominal di bawah Rp100 juta tidak memerlukan agunan atau jaminan.
Ombudsman Republik Indonesia juga memperkuat hal ini melalui pernyataannya pada Kamis, 15 Agustus 2024. Ombudsman menyarankan agar pihak perbankan mengembalikan agunan milik debitur KUR dengan pinjaman maksimal Rp100 juta.
Namu, kenyataan di lapangan menunjukkan ketidaksesuaian antara kebijakan pemerintah dan praktik perbankan. Beberapa debitur merasa dipersulit untuk mendapatkan kembali hak mereka.
“Ini jelas melanggar hukum dan bertentangan dengan peraturan yang ada,” ujar salah satu pelaku UMKM yang enggan disebutkan namanya.
Pihak perbankan diimbau untuk segera menyesuaikan kebijakan dengan aturan yang berlaku demi memberikan kepastian hukum bagi debitur. Para debitur yang mengalami permasalahan serupa diharapkan melaporkan kasus mereka ke media atau pihak terkait agar mendapat perhatian lebih lanjut.
Fenomena ini tidak hanya melibatkan satu bank saja, diduga terjadi pada bank lain, baik swasta maupun BUMN. Para debitur diimbau untuk memperjuangkan hak mereka sesuai dengan peraturan yang berlaku.