Problem Kesehatan di Sumenep : Stunting, DBD dan Pusat Layanan Mirip Bangunan Terbengkalai.

Foto : Ketua IKA PMII SUMENEP, Hairullah., SHI

Apa yang dilakukan Dinkes?

OPINI, updatejatim.net – Di atas kertas, Pemerintah Kabupaten Sumenep mungkin tampak bekerja keras dalam memperbaiki sektor kesehatan. Laporan demi laporan dipublikasikan, angka-angka dipoles, dan program-program seremonial digelar.

Namun, realitas di lapangan berkata sebaliknya. Masyarakat tetap menderita. Jelasnya, Stunting masih menjadi momok, Demam Berdarah Dengue (DBD) merajalela, dan fasilitas kesehatan di pelosok lebih mirip bangunan terbengkalai dari pada pusat pelayanan.

Kebijakan kesehatan di Sumenep bukan hanya gagal, akan tetapi telah menjadi ironi yang tragis. Masyarakat dibiarkan berjuang sendiri di tengah sistem yang bobrok. Sedangkan Pemerintah Sumenep dengan bangga mengumumkan bahwa angka stunting turun dari 29% pada 2021 menjadi 16,7% pada 2023.

Namun, apakah ini benar-benar keberhasilan atau sekadar permainan angka? Faktanya, target nasional masih di angka 14%, yang berarti Sumenep masih tertinggal. Lebih dari itu, penyebab utama stunting yakni kemiskinan, kurangnya edukasi gizi, dan akses pangan yang buruk. Bahkan, tidak pernah benar-benar tersentuh kebijakan yang solutif.

Sebagian besar program penanganan stunting masih berkutat pada pembagian bantuan yang sering tidak tepat sasaran, bukan perbaikan sistemik yang memberikan dampak jangka panjang. Bukannya memperbaiki akses kesehatan dan pendidikan bagi ibu dan anak, pemerintah justru sibuk dengan pencitraan lewat program-program yang tak menyentuh akar masalah.

Selain itu, bisa kita lihat Tahun 2024 mencatat 1.323 kasus DBD di Sumenep, dengan 10 kematian. Ini bukan angka biasa, tetapi cerminan dari kegagalan pemerintah dalam mengelola kesehatan masyarakat. Penyakit ini bukanlah fenomena baru, tetapi mengapa solusinya selalu bersifat reaktif? Fogging dilakukan hanya ketika kasus sudah melonjak, seolah pemerintah baru terbangun dari tidur panjangnya setelah korban berjatuhan.

Seharusnya, program pemberantasan sarang nyamuk berjalan sepanjang tahun, bukan sekadar aksi sporadis menjelang puncak musim hujan. Namun, di Sumenep, tindakan pencegahan selalu dikesampingkan. Padahal, setiap nyawa yang hilang akibat kelalaian ini adalah bukti betapa buruknya sistem kesehatan yang ada.

Selanjutnya, Jangan tertipu dengan pembangunan gedung puskesmas atau rumah sakit baru. Di balik fasad mewahnya, realitasnya tetap menyedihkan. Banyak puskesmas di pelosok Sumenep kekurangan tenaga medis, alat kesehatan, bahkan obat-obatan dasar. Pasien dari daerah kepulauan harus menempuh perjalanan berjam-jam, bahkan berhari-hari, hanya untuk mendapatkan pelayanan yang seharusnya mudah diakses.

Ironisnya, anggaran kesehatan daerah terus meningkat, tetapi dampaknya tak pernah benar-benar dirasakan masyarakat. Ke mana larinya dana tersebut? Apakah habis untuk membayar studi banding dan perjalanan dinas pejabat, sementara rakyat dibiarkan sekarat karena akses kesehatan yang tak memadai?

Kesimpulannya Sudah cukup masyarakat Sumenep dibodohi dengan angka-angka manipulatif dan janji manis yang tak pernah ditepati. Nyawa yang melayang akibat stunting, DBD, dan buruknya fasilitas kesehatan adalah bukti nyata bahwa kebijakan saat ini bukan hanya gagal, tetapi juga mengabaikan hak dasar masyarakat.

Pemerintah Sumenep dalam hal ini Dinas Kesehatan (Dinkes) harus berhenti bersembunyi di balik retorika kosong dan mulai bekerja dengan serius. Jika tidak, mereka tidak hanya gagal sebagai pemimpin, tetapi juga menjadi bagian dari sistem yang membiarkan rakyatnya mati sia-sia.

*Oleh
Hairullah, SHI  (Ketua IKA PMII SUMENEP).