OPINI, updatejatim.net – Setiap tahun, Ramadhan selalu datang dengan atmosfer religius yang begitu kuat. Umat Islam bersemangat meningkatkan ibadah, menahan hawa nafsu, dan memperbanyak amal kebaikan.
Namun, ada satu pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan: Apakah kita benar-benar memahami esensi Ramadhan, atau hanya menjadikannya sebagai rutinitas tahunan tanpa perubahan berarti?
Kita sering melihat lonjakan semangat berbagi selama Ramadhan. Takjil gratis bertebaran di jalan, masjid penuh dengan jamaah, dan berbagai lembaga serta komunitas berlomba-lomba menggelar buka puasa bersama serta memberi santunan kepada mereka yang kurang mampu.
Ini tentu hal baik, tetapi masalahnya adalah, mengapa kepedulian ini seolah menjadi musiman? Begitu takbir Idul Fitri berkumandang, semangat berbagi itu perlahan menghilang, seakan-akan Ramadhan hanyalah panggung kebaikan sementara.
Lebih ironis lagi, Ramadhan yang sejatinya mengajarkan kesederhanaan justru sering menjadi ajang konsumtif. Makanan berlimpah disajikan untuk berbuka, restoran dan pusat perbelanjaan penuh, bahkan harga bahan pokok meroket karena tingginya permintaan.
Di sisi lain, masih banyak orang yang bahkan untuk sekadar berbuka dengan air putih pun kesulitan. Ini bukan sekadar persoalan ekonomi, tetapi juga bukti bahwa empati kita sering kali hanya bersifat seremonial.
Jika Ramadhan benar-benar dimaknai sebagai bulan refleksi, maka seharusnya ada perubahan nyata yang bertahan setelahnya. Puasa bukan hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi juga membangun kesadaran sosial.
Kita diajarkan untuk merasakan apa yang dialami oleh mereka yang kurang beruntung, bukan hanya selama sebulan, tetapi untuk selamanya. Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan agar Ramadhan tidak sekadar menjadi ritual tahunan yang berlalu tanpa makna.
Pertama, menjadikan kepedulian sosial sebagai kebiasaan yang berkelanjutan, bukan hanya euforia sesaat. Kedua, menahan diri dari gaya hidup konsumtif yang bertentangan dengan nilai puasa.
Dan yang tak kalah penting, mendorong kebijakan yang benar-benar berpihak pada mereka yang membutuhkan, bukan sekadar aksi sosial yang bersifat simbolik. Pada akhirnya, Ramadhan seharusnya menjadi ajang evaluasi diri dan masyarakat.
Jika setelahnya kita tetap tidak peduli pada ketimpangan sosial, tetap konsumtif, dan tetap acuh terhadap mereka yang membutuhkan, maka ada yang salah dalam cara kita memahami bulan suci ini. Semangat Ramadhan seharusnya tidak berhenti di penghujung Syawal, tetapi terus hidup dalam keseharian kita.
*Oleh
Agus Salim
(Ketua Umum PC PMII Sumenep).